NPV, PV, IRR, dan Penghitungannya

    • Perbandingan NPV-PV

    NPV berguna untuk menghitung net present value dari suatu deret aliran kas di masa yang akan datang pada suatu tingkat bunga sedangkan PV berguna untuk menghitung nilai sekarang (present value) dari suatu deret angsuran seragam di masa yang akan datang dan suatu jumlah tunggal yang telah disama-ratakan pada akhir periode pada suatu tingkat bunga. Perbedaan utama antara fungsi PV dan NPV adalah: PV bisa digunakan pada awal atau akhir periode dar suatu aliran kas, PV mengharuskan semua nilai sama, sedangkan NPV nilai-nilai bisa bervariasi. NPV = PV dari arus masuk – Biaya = Keuntungan bersih kekayaan

    Contoh present value :

    John ingin menyewa mobil dengan besar uang sewa per bulannya $300 selama 3 tahun (36 bulan). Setelah 36 bulan, ia bisa membeli mobil tersebut seharga $12000. bila tingkat bunga per tahun sebesar 8%, berapakah besarnya present value?

    Present value

    = PV(8%/12, 36, -300, -12000)

    • Pengertian PV, NPV – IRR dan Perbandingannya

    Present Value (PV) adalah nilai pokok. Jika kita menginvestasikan Rp 5,000 ke dalam sertifikat deposito, jumlah ini adalah nilai present value (nilai sekarang) dari uang yang anda investasikan. Jika kita meminjam Rp 15,000 untuk membeli suatu barang, jumlah ini merupakan PV dari pinjaman itu. Nilai Sekarang (PV) bisa positif atau hal negative. NPV adalah selisih antara present value dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan tingkat bunga yang relevan sedangkan IRR adalah metode yang digunakan untuk mencari tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan di masa datang, atau penerimaan kas, dengan mengeluarkan investasi awal. Caranya, dengan menghitung nilai sekarang dari arus kas suatu investasi dengan menggunakan suku bunga yang wajar, misalnya 10 %. Kemudian di bandingkan dengan biaya investasi, jika nilai investasi lebih kecil, maka di coba lagi

    dengan penghitungan suku bunga yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai biaya investasi menjadi sama besar. Apabila dengan suku bunga wajar tadi nilai investasi lebih besar, maka harus di coba lagi dengan suku bunga yang lebih rendah sampai mendapatkan nilai investasi yang sama besar dengan nilai sekarang.

    NPV dan IRR sudah terkenal sebagai dua metode untuk menilai usul investasi. Yang sedikit belum terkenal keduanya sama-sama termasuk kelompok discounted cash flow penganut nilai waktu dan proceeds selama total usia proyek. Berdasarkan kesamaan demikian, NPV-IRR akan memberikan keputusan yang sama dalam menilai usul investasi. Andaikan berbasis NPV usul investasi layak diterima maka demikian pula IRR, IRR akan memberikan keputusan yang sama. Tetapi sebenarnya telah terbukti terkandung sebuah pengecualian. Pengecualian yang dimaksudkan tidak lain jika berkaitan dengan menilai salah satu dari dua atau lebih usul investasi bersifat mutually exclusive. Untuk kondisi seperti begitu NPV, IRR dapat bertolak belakang memberikan jawaban secara khusus sering terjadi pada susunan peringkat usul investasi. Hal tersebut, dikarenakan perbedaan asumsi yang melekat terkait tingkat reinvestasi dana bebas. IRR berasumsi dana bebas diinvestasikan kembali dengan tingkat rate of returnnya selama periode sisa usia. Sebaliknya NPV berpegang konsisten besarnya tingkat reinvestasi adalah tetap sebesar tingkat diskonto yang ditetapkan sebelumnya. NPV pada umumnya dipandang unggul ketimbang IRR. Mengapa demikian? NPV konsisten, NPV mempertimbangkan perbedaan skala investasi dari pernyataan secara absolut dalam rupiah tidak seperti IRR yang memiliki pernyataan berbentuk persentase sehingga skala investasi terabaikan. Contoh soal IRR :

    Sebuah proyek dengan investasi sebesar Rp. 20.000.000,- dan akan memberikan pemasukan setiap tahunnya sebesar Rp.4.900.000,- berlangsung selama 5 tahun. Berapa IRR dari proyek tersebut?
    Jawab :
    PV penerimaan/PV biaya =1
    4900000(P/A; i%, 5)/20000000 =1
    (P/A; i%; 5) = 20000000/4900000
    (P/A; i%; 5) = 4,0816

    IRR = 7% + ((4,1002-4,0816)/(4,1002-4,0459)) x (7,5% – 7%)
    = 7% + (0,0816/0,0543) x (0,5%)
    = 7% + 0,3425 x (0,5%)
    = 7% + 0,17%
    IRR = 7,17%

    • Contoh Soal :

    Pimpinan perusahaan akan mengganti mesin lama dengan mesin baru karena mesin lama tidak ekonomis lagi, baik secara teknis maupun ekonomis. Untukmenggantimesin lama dibutuhkan dana investasi sebesar Rp 75.000.000,‐. Mesin barumempunyai umur ekonomis selama 5 tahun dengan salvage value berdasarkan pengalaman pada akhir tahun kelima sebesar Rp. 15.000.000,‐. Berdasarkan pengalaman pengusaha, cash in flows setiap tahun diperkirakan sebesar Rp 20.000.000,‐ dengan biaya modal 18% per tahun. Apakah penggantian mesin ini layak untuk dilakukan apabila dilihat dari PV dan NPV?

    Jawab :
    DF 18%
    P = P + A (P/A,i,n) + F (P/F, i, n)
    P = -75.000.000 + 20.000.000 (P/A, 18%, 5) + 15.000.000 (P/F, 18%, 5)
    P = -75.000.000 +62.544.000 + 6.556.500
    P = -5.899.500

    DF 14%
    P = 20.000.000 + 20.000.000 + 20.000.000 + ….. + 20.000.000 + 15.000.000
    (1 +0,14) (1 + 0,14)2 (1 + 0,14)3 (1 + 0,14)5 (1 + 0,14)5
    P = 1.754.3859 + 15.389.350 + 13.499.430 + 11.841.605 + 10.387.373 + 7.790.529
    P = 76.452.146 – 75.000.000 = 1. 452.146

    DF 24%
    P = 20.000.000 + 20.000.000 + 20.000.000 + ….. + 20.000.000 + 15.000.000
    (1 +0,24) (1 + 0,24)2 (1 + 0,24)3 (1 + 0,24)5 (1 + 0,24)5
    P = 16.129.032 + 13.007.284 + 10.489.745 + 8.459.471 + 6.822.154 + 5.116.616
    P = 60.024.302 – 75.000.000
    P = – 14.975.698

     

Review Buku : Wawasan, Tantangan, dan Peluang Agrotechnopreneur Indonesia

          Buku karangan E. Gumbira- Sa’id ini menjabarkan tentang sejarah agrotechnopreneur yang pada merupakan renovasi dari agribisnis. Istilah agribisnis muncul sekitar tahun 1956, kemudian disusul dengan istilah agroindustri, yang baru memasyarakat pada akhir tahun 1980-an. Sementara itu, istilah agrotechnopreneur baru muncul diawal tahun 2000-an, sebagai respon atas maraknya penggunaan istilah technopreneur di bidang bisnis berbasis teknologi.  Berdasarkan batasannya, agropreneurship adalah berbagai upaya yang dilakukan pihak pihak, khususnya wirausaha, dalam memanfaatkan peluang agribisnis. Dari sudut pandang terminologi, agrotechnopreneurship didefinisikan sebagai kemampuan dalam mengelola suatu usaha di sektor agribisnis/agroindustri melalui pemanfaatan teknologi serta mengedepankan inovasi dalam upaya pengembangan bisnisnya. Agrotechnopreneurship terdiri dari 3 komponen yang saling terkait, yaitu kapasitas litbang, kewirausahaan dan venture kapital. Untuk itu seorang agrotechnopreneur dituntut untuk mampu meningkatkan kapasitas litbang bagi pengembangan usahanya. Dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor yang menentukan keberhasilan agrotechnopreneur yakni inovasi, prospek dan pengembangan bisnis, serta penyediaan kapital, baik dana inisiasi maupun kapital lanjutan. Untuk membangun keberhasilan seorang agropreneur harus memiliki sifat sifat di bawah ini :

  1. Mampu memecahkan masalah dengan cepat dan tepat
  2. Memiliki kebutuhan yang kecil terhadap status, tidak arogan, tetapi rendah hati dan harmonis dengan alam
  3. Memiliki energi (semangat) yang tinggi
  4. Daya tanggap yang tinggi
  5. Kepercayaan diri yang baik
  6. Bekerja secara terencana dan terorganisasi secara baik
  7. Mampu meneropong peluang bisnis dan meninjaunya ke masa depan

Buku ini juga tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi agrotechnopreneur sejati , tetapi juga menyuguhkan studi kasus di lapangannya dan memberikan berbagai gambaran atau peluang yang dapat menjadi solusinya. Contohnya pada kasus krisis makanan (food), bahan bakar (fuel), dan keuangan (finansial) pada abad ke-21 dan kelngkaan minyak dimana penggunaannya semakin meningkat pada tahun 2008. Sang pengarang memberi menjelaskan bahwa di balik semua permasalahan tersebut, terdapat suatu peluang untuk mengembangkan dan mengoptimalisasikan pemanfaatan energi alternatif yang selama ini penggunaannya belum maksimal. Sumber energi alternatif tersebut meliputi tenaga angin, panas matahari, air, geothermal, biomasa, dan bahan – bahan limbah organik. Pengembangan usaha tersebut harus sejalan dengan pengembangan teknologi ramah lingkungan sehingga tidak menyebabkan kerusakan lingkungan yang merugikan kehidupan makhluk hidup di bumi ini. Selain dari kasus terseut masih banyak kasus dan peluang yang dijabarkan dalam buku ini melingkupi aspek pangan, peternakan, kayu, furniture, biodiesel dan masih banyak lagi. Oleh sebab itu, buku ini cocok untuk berbagai kalangan orang yang memiliki latar belakang program studi yang berbeda beda.

Pada intinya, pengarang mau menjelaskan bahwa untuk menjadi agropreneur sejati, seseorang harus menjiwai kompleksitas agribisnis dan agroindustri. Untuk menjembatani harus ada strategi dan seni dalam berbisnis, keberhasilan akan mampu dicapai produsen bila mereka mampu mengimplementasikan mutu produk prima, biaya produksi minimal, kemampuan merespon teknologi. Sekian yang dapat saya jelaskan di blog ini, selebihnya pembaca dapat langsung membeli dan membaca bukunya. Terimakasih.

 

 

 

 

 

            Salam,

Naomee Grace Monica